.: PENAWARAN USAHA TERBARU SAAT INI :.

Bensin Blog ini

07 May 2010

Bioprospecting Senyawa Aktif dari Laut

SEMENJAK 100 tahun lalu, penerapan teknik kimia rekombinan yang disokong oleh keberhasilan bioassay (uji hayati) in vitro menggeser metode bioprospecting dalam upaya pengembangan produk farmasi. Bioprospecting dimaknai secara simplifikasi sebagai eksplorasi senyawa kimia baru dari makhluk hidup di alam untuk selanjutnya melalui screening akitivitas biologinya diusulkan sebagai kandidat bahan farmasi.

Dengan teknik kimia rekombinan, lusinan produk farmasi dirilis ke pasaran tiap tahun. Produk kimia rekombinan ini disintesis secara random dengan memodifikasi molekul dari senyawa kimia yang telah sukses berperan sebagai obat. Contoh produk kimia rekombinan ini mencakup beberapa jenis antibiotik semisintetik seperti: penicillin, cephalosporin, kanamycin, rifamycin, lincomycin, dsb.

Perusahaan farmasi sangat bergantung pada teknik kimia rekombinan ini, karena berbagai alasan strategis. Antara lain, pertama, dalam upaya pengembangan obat baru, perusahaan tak bergantung pada bahan alam. Kedua, kapital yang ditanamkan dalam teknik kimia rekombinan untuk mendapatkan kandidat obat baru tidaklah se-spektakuler seperti bioprospecting. Ketiga, bebas dari konflik dengan pemasok bahan baku alami seperti pada bioprospecting.

Produk kimia rekombinan sepenuhnya adalah hasil rekayasa kimia di laboratorium dengan mengotak-ngatik ikatan karbon dengan karbon atau dengan unsur konstituen lainnya, juga memodifikasi stereochemistry-nya untuk mengkreasi suatu gugus molekul yang memiliki bioaktivitas berbeda dengan molekul senyawa asal sebelum mengalami rekombinasi.

Akan tetapi produk farmasi hasil rekayasa kimia rekombinan ini tak luput dari kritik para pakar bahan alam. Fenical (pakar bahan alam dari laut) berkomentar produk kimia rekombinan adalah contoh produk artifisial yang tak memiliki akar fungsi di alam. Pasalnya, karena memang produk kimia rekombinan semata-mata inovasi para ahli teknik kimia, dibantu dengan design model molekul, dipandu dengan bioinformatika, yang dengan piawai memecah-mecah molekul dan mengkreasi gugus-gugus baru non alamiah yang memiliki aktivitas biologi, untuk selanjutnya dikembangkan sebagai obat baru. Struktur molekul hasil teknik rekombinan pada umumnya taklah serumit struktur molekul kimia bahan alam.

Keunikan Habitat Laut
Adanya kecenderungan resistensi dari beberapa bakteri patogen terhadap antibiotika yang sekarang umum diterapkan, dibarengi dengan munculnya jenis penyakit baru seperti HIV-AIDS menggiring dunia farmasi untuk mencari alternatif baru sumber obat, selain dari penerapan teknik kimia rekombinan dan penggalian sumber bahan alam terestrial yang lambat laun mulai aus.

Laut dengan keunikan ekosistemnya dipercaya menyimpan seabrek potensi sumber farmasi baru dengan struktur molekul baru (novel) dan mekanisme farmakologi baru pula. Skeptis-kah harapan ini ? Kiranya tidak, mengingat fakta-fakta biotik berikut yang membedakan ekosistem laut dengan ekosistem terestrial.

Pertama, di ekosistem laut-lah bagian terbesar biosphere di bumi ini mengembara. Konsekuensinya laut masih menjadi habitat bagi makhluk mulai dari yang paling primitif dan menjadi ekosistem dengan biodiversitas terbesar. Kedua, ekosistem laut unik karena proses komunikasi, pengiriman signal, proses makan, dan pertahanan dari makhluk hidup laut, kesemuanya berlangsung di kolom air. Ketiga, variasi dan kompleksitas makro dan mikro-organisme laut lebih besar dari ekosistem lainnya. Dengan kata lain makhluk laut merepresentasikan keragaman genetik (phylogenetic) dan keragaman kandungan kimia yang kompleks pula. Keempat, kehidupan di laut didominasi oleh mikroorganisme seperti: nanoplankton, mikroalgae, bakteri, archaea, dan jamur yang mengontrol lebih dari 90% siklus kimia di lautan. Kelima, mikroorganisme laut belum banyak dikaji dibandingkan mikroorganisme penghuni terestrial.

Sekitar 40 - 50% obat-obatan yang beredar dipasaran berasal dari produk kimia bahan alam. Bahkan 10 dari 25 top penjualan produk farmasi berasal dari bahan alam. Sebagian kimia bahan alam yang telah dikonversi menjadi obat ini diekstrak dari mikroorganisme, tumbuhan, dan makroorganisme laut. Keunikan kimia bahan alam dari laut telah dikenal sejak abad ke-14 dalam pengobatan tradisional China dan Jepang. Di kedua negara ini ekstrak kuda laut telah diaplikasikan untuk terapi berbagai penyakit antara lain: pengobatan lemah syahwat, penyakit pernafasan, ginjal, hati dsb. Akan tetapi jika dikomparasikan dengan sejarah etnobotani (tumbuhan obat tradisional) di ekosistem terestrial, memang penggunaan bahan alam dari laut bagi pengobatan tradisional sangatlah sedikit.

Metabolit Sekunder
Oleh karena itu, tanpa dipandu dengan penelusuran kisah etnobotani, pengumpulan sampel makhluk laut untuk dieksplorasi senyawa bioaktifnya betul-betul upaya yang random dan agak spekulatif, yang semata-mata dilatarbelakangi oleh ketidakberdayaan secara fisik makhluk laut tersebut lari dari predator. Sebagai gantinya makhluk laut ini mensekresi senyawa metabolit sekunder yang dapat bersifat paralysis bagi predator, atau membuat predator dan kompetitor tak betah berada disekitarnya, atau sekedar menjadi kamuflase.

Prospek diisolasinya senyawa metabolit sekunder dengan struktur kimia baru yang memiliki bioaktivitas pada makhluk laut, baik yang hidup di sekitar, bersimbiose, atau berasosisi dengan terumbu karang mencapai probabilitas 300 hingga 400 kali lebih mungkin, dibandingkan dengan makhluk penghuni daratan. Hingga saat ini para ahli taksonomi laut, baru berhasil mengidentifikasi 10% dari biodiversitas makhluk hidup penghuni terumbu karang (Bruckner, 2002).

Bisa dibayangkan demikian mega-nya potensi kimia bahan alam yang bisa digali dari laut ! Di ekosistem terumbu karang saja masih belum terkuak sepenuhnya isinya. Karakter abiotik laut tak hanya berbeda secara spatial (horizontal) antara wilayah pesisir dan lepas pantai, tapi juga bervariasi secara vertikal (kolom air). Untuk terumbu karang, wilayah indo pasifik (Indonesia, Filipina, Australia utara, Papua Nugini, Fiji, dsb) menghabitati lebih banyak species koral dan makhluk lainnya penghuni ekosistem terumbu karang daripada ekosistem terumbu karang di wilayah lainnya di bumi ini

Apalagi kalau ditelaah relung ekologi spesifik laut lainnya seperti: hydrothermal vents, laut dalam, laguna hypersaline, dasar laut penyembur gas metan, laut antartika dan artika, hutan mangrove, dsb, akan semakin membuat kita terpana terhadap potensi kimia bahan alamnya mengingat spesifik dan ekstrimnya karakter abiotik yang harus diadaptasi oleh makhluk laut penghuni relung (niche) ekologi unik tersebut dalam rangka mempertahankan eksistensinya.

Bioprospecting Kimia Bahan Alam Laut
Sadar akan luar biasanya potensi kelautan, dua negara raksasa ekonomi, Amerika Serikat dan Jepang, berlomba-lomba berinvestasi dalam penggalian bahan alam dari laut (marine natural product/MNP). Jepang membelanjakan AS$1 milyar per tahun (80% berasal dari industri). Para pakar bahan alam Jepang yang mengekstrak 100 species sponge penghuni terumbu karang menemukan 20% dari sponge tersebut mengandung senyawa bioaktif baru unik. Amerika Serikat yang berinvestasi lebih kecil dalam MNP ini juga telah menuai sukses dengan dipatenkannya sebanyak 170 senyawa bioaktif baru sejak tahun 1983.

Cephalosporin, antibiotik yang pada awalnya diisolasi dari jamur Cephalosphorium sp. yang berasal dari air laut yang dikoleksi di Cagliari, Italy pada tahun 40-an, Ara-A (Vidarabin, Vidarabin Thilo) obat anti virus dan Ara-C (Cytarabin, Alexan, Udicil) obat anti kanker hasil sintesis analog yang dikembangkan dari senyawa pandu (lead structure) Arabinose-nucleosid e diisolasi dari sponge Cryptotethya crypta yang dikoleksi di laut Karibik pada tahun 50-an adalah beberapa contoh obat-obatan yang dikembangkan dari bahan alam laut dan telah sukses dikembangkan secara komersial (Faulkner 2002).

Ziconotide, agen pembunuh rasa sakit (pain killer) yang diisolasi dari Conus magnus (cone snail) telah menjalani uji klinis fase III (fase akhir) dikembangkan oleh Elan Pharmaceutical, dan Ecteinascidin 743 (anti kanker) yang diekstrak dari Ecteinascidia turbinata (tunicate) juga sedang menjalani uji klinis fase III, dibarengi dengan lusinan senyawa bioaktif lainnya baik yang berada pada uji klinis fase I dan II maupun masih dalam taraf evaluasi preklinis, serta diisolasinya ratusan senyawa bioaktif baru dari laut setiap tahun menambah panjang ceritera keunikan dan besarnya potensi bahan alam dari laut sebagai kandidat obat.

Biodiversity vs Intelectual Proper Right
Kecenderungan pergeseran penggalian obat-obatan dari teknik kimia rekombinan ke bioprospecting pada dekade belakangan ini memunculkan intrik dan konflik baru antara perusahaan farmasi dengan negara-negara dunia ketiga tempat dimana sebagian besar sumber biodiversitas dunia berasal. Upaya intensif pencaharian bahan alam oleh industri farmasi dibayangi dengan keengganan negara-negara berkembang memasok bahan bakunya.

Apalagi setelah diratifikasinya Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biological diversity) oleh 140 negara pada Konferensi Bumi di Rio de Janeiro (1992) yang menganugerahi konsep nations holding property rights to their indigenous species. Konsep ini menjadi pedang ampuh bagi politisi negara pemilik biodiversitas dalam bernegosiasi dengan industri farmasi dari negara maju dalam hal pemanfaatan sumber kimia bahan alam.

Konsep ini pulalah yang sedikit banyak mengendorkan nyali industri farmasi dan pakar kimia bahan alam negara maju dalam membangun kolaborasi dengan negara pemilik biodiversitas, mengingat besarnya ekspektasi negara pemilik biodiversitas akan royalti dan revenue yang kelak akan diperoleh.

Sementara bioprospecting adalah bisnis yang penuh resiko dan tak ada garansi akan kembalinya kapital yang telah diinvestasikan. Namun demikian, negara-negara maju, pun tak kalah cerdik untuk mengimbangi konsep biological diversity ini dengan mengajukan konsep intelectual property right (hak kekayaan intelektual) .

Tak kurang dari AS$350 juta harus dibelanjakan dan sekitar 10 tahun harus ditempuh untuk mentransformasi senyawa bioaktif baru dari bahan alam menjadi obat komersial. Maka dari itu harus diformulasikan bersama model benefit sharing ideal yang dapat dikantongi oleh perusahaan farmasi dan negara pemilik biodiversitas, agar ekses yang muncul dari bioprospecting ini dapat diminimalisir, sehingga mega biodiversity ini dapat digali bersama untuk didedikasikan bagi kemashlahatan ummat manusia!

Oleh : Hefni Effendi (Dosen Dept Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), IPB)

4 comments:

ARDANA KURNIAJI said...

kren....!

Anonymous said...

artikel yang menarik... indonesia sebagai negara kelautan jelas harus memanfaatkan potensinya termasuk di bidang bahan alam laut :)

naldio said...

artikel yang bagus dan bermanfaat....membuka cara pandang kita tentang potensi laut yang belum dimanfaatkan khususnya senyawa bioaktif dari laut sebagai bahan obat....

Unknown said...

vimax terima kasih untuk sharingnya, artikel yang menarik, di tunggu artikel selanjutnya

Post a Comment

Daftar PTC Neobux